Pussy Riot, Besar Nyali Perempuan Punk

Sabtu, 21 Juli 2018 - 08:20 WIB
Pussy Riot, Besar Nyali Perempuan Punk
Pussy Riot, Besar Nyali Perempuan Punk
A A A
GRUP aktivis perempuan punk rock asal Moskow, Rusia, Pussy Riot, kembali bikin heboh setelah menginvasi pertandingan final Piala Dunia 2018. Namun jangankan ‘aksi receh’ masuk ke lapangan sepak bola, mereka bahkan berani bernyanyi di tempat ibadah, sambil menyindir Putin dan gereja.

Menyelinap masuk ke ajang olahraga internasional dengan menyamar mengenakan seragam polisi bukanlah perkara mudah. Lebih lagi, memerlukan kenekatan yang luar biasa. Itu semua tampaknya hanya bisa dilakukan oleh Pussy Riot.

Aksi keempat anggota Pussy Riot (3 perempuan dan 1 pria) ini disebut sebagai sebuah ‘penyadaran’ kepada dunia, bahwa Rusia, sang tuan rumah Piala Dunia 2018, di bawah pemerintahan Vladimir Putin, tidaklah baik-baik saja. Putin mereka anggap sebagai diktator. Sambil menginvasi lapangan sepak bola, mereka pun menyampaikan enam tuntutan politik.

Tuntutan tersebut yakni bebaskan semua tahanan politik, hentikan pemenjaraan orang atas kasus ‘likes’ di media sosial, hentikan penangkapan ilegal saat protes, biarkan persaingan politik, berhenti memfabrikasi kasus-kasus kriminal dan memenjarakan orang tanpa alasan, dan terakhir ubahlah polisi duniawi menjadi polisi surgawi. Memang, seragam polisi yang dikenakan Pussy Riot saat masuk ke lapangan speak bola adalah sebagai simbol polisi yang berada di bawah kekuasaan Putin, membuat keadaan di Rusia menjadi lebih parah.

Akibat dari aksi yang disaksikan langsung oleh Putin, Presiden Prancis Emmanuel Macron, Presiden Kroasia Kolinda Grabar-Kitarovi?, dan Presiden FIFA Gianni Infantino itu, keempat pelaku dijatuhi hukuman 15 hari penjara dan 3 tahun dicekal hadir secara langsung di seluruh pertandingan olahraga.

Ini bukan pertama kalinya anggota Pussy Riot harus meringkuk di bui. Sebelumnya, dua pentolan mereka, yaitu Nadezhda Tolokonnikova dan Maria Alyokhina juga di penjara selama 2 tahun sebagai konsekuensi menyanyikan lagu Punk Prayer di altar suci Katedral Kristus dan Juru Selamat di Moskow pada 2012. Lagu tersebut adalah kritikan bagi Gereja karena mendukung kebijakan Putin.

Sebelumnya, Pussy Riot juga nekat mengkritik Putin yang berkuasa di Rusia sejak 1999, baik sebagai presiden maupun perdana menteri, saat mereka menguasai Katedral Basil di Lapangan Merah sambil mendendangkan lagu Putin Zassel yang berisi tuntutan agar Putin mundur.

Seolah tak pernah kapok, saat akhirnya dibebaskan pada 2014, Pussy Riot tak lama kemudian bikin ulah lagi dengan merilis video klip lagu Putin Will Teach You How To Love the Motherland yang memanfaatkan momen Olimpiade Musim Dingin di Sochi pada 2014.

Meski ‘hanya’ bermodalkan lagu-lagu punk rock dalam melawan Putin, aksi Pussy Riot sesungguhnya bisa mengancam nyawa mereka. Sudah bukan rahasia lagi bahwa mereka yang mengkritisi Putin kerap bernasib naas, mulai dari ditangkap hingga tewas secara mengenaskan. Seperti misalnya dikutip dari The Washington Post, yaitu politikus Boris Nemtsov serta jurnalis Natalia Estemirova dan Anna Politkovskaya. Meski begitu, memang sulit membuktikan bahwa kematian tersebut berhubungan dengan pemerintahan Putin.

Grup yang terbuka
Siapa sebenarnya Pussy Riot? Dikutip Daily News, siapa pun sebenarnya bisa menjadi anggota Pussy Riot. Yang harus dilakukan yakni mengenakan balaclava atau penutup wajah dan berteriak saat protes.

Mereka tidak memiliki anggota atau personel tetap, tidak pernah mengeluarkan album, dan tidak melakukan tur. Pada 2012, disebut bahwa keanggotaan mereka bervariasi, yakni sekitar 11 perempuan berusia sekitar 20 tahun-33 tahun.

Meski tak punya anggota tetap, tapi ada tiga personel yang diketahui sebagai pentolan grup. Mereka yaitu Nadezhda Tolokonnikova (Nadya Tolokno), 28; Maria Alyokhina, 30; dan Yekaterina Samutsevich, 35.

Didirikan sejak 2011, Pussy Riot mementaskan aksi, mendokumentasikannya ke dalam bentuk video, dan memberikan pernyataan tekstual untuk tiap aksi mereka sebagai penjelasan tentang niat dan tuntutan mereka.

Lalu mengapa mereka memilih lagu-lagu beraliran punk untuk menyuarakan kegelisahan mereka? Disebutkan dalam sebuah wawancara, Pussy Riot menyebut bahwa mereka butuh cara yang spektakuler dan provokatif sebagai media protes, dan itu mereka temukan dalam musik punk. (Susi Susanti)

(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4801 seconds (0.1#10.140)